
Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan  sendiri, di  tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak  tersiok-siok  berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencuba untuk tetap  meneruskan  perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil   berair cukup jernih.
“Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan  dahagaku.” Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.
Namun  setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya  pun berteriak  minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum  makan. Sepanjang melintasi  perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun.  Jangankan haiwan  liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.
Sambil duduk  memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya,  atau lebih tepat  pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk  mengembara  melintasi bumi Allah, sekadar mencari pengalaman hidup dan berguru   pada mereka yang ditemuinya. Tanpa sedar kerana lapar dan ngantuk yang  mulai  menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai  kecil itu.  Dipandanginya lebih tepat. Ya, itu adalah buah, seperti buah  epal kerana merah  warnanya. Bangkit dari duduknya, kemudian mencari  sebatang dahan kayu untuk  menarik buah itu ke tepi.
“Alhamdulillah, kalau rezeki tak  akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm,  lazat sekali epal ini.  Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.”  Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang  telah ditelan, tiba-tiba anak muda  itu berhenti mengunyah epal  tersebut.
“Astaghfirullah,  buah ini belum  diketahui siapa yang empunya,  sudah aku makan tanpa  keizinannya.” Sejenak kemudian mengalir air matanya.Terisak  dia.
“Buah  ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang  telah  memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah   epal yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berfikir cuba  mengolah isi hatinya. Satu sikap yang jarang diketemui dewasa  ini
Zaman ini kejujuran begitu sukar ditemui. Kejujuran sudah   menjadi barang antik, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan  sepotong  epal, wang berjuta mengelabui mata, sambil tidak ada niat  untuk  mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan  barang-barang  pejabat untuk keperluan peribadi, sudahkah kita  menghalalkannya?
“Aku harus menemukan sumber dari buah epal ini.  Bertemu dengan  pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan  satu buah epal ini untuk  menjadi rezekiku.”
Bergegas ia  membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan  menyusuri sungai kecil  itu untuk menemukan sumber buah epal yang dimakannya.  Hingga sampailah  ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya  itu. Tampak  ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat  situ,  juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian terhenti pandangannya pada   sebuah rumah yang sederhana namun cukup ceria yang menunjukkan  penghuninya  adalah orang yang rajin menjaganya. Menujulah ia kesana  dengan harap-harap cemas  dapat bertemu pemiliknya.
Pemuda Tsabit  sesekali membandingkan epal yang ada di tangannya  dengan epal yang ada  di sekitar kebun itu. Tsabit yakin epal yang ada di  tangannya itu  berasal dari kebun itu.
“Assalamu’alaikum..”“Wa alaikumussalam warahmatullahi  wabarakatuh..”
Sesusuk  lelaki separuh baya muncul dari balik  pintu.“Siapakah engkau wahai  anak muda?”“Nama saya Tsabit bin Ibrahim,  apakah tuan pemilik rumah  ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah  ini?”“Betul, sayalah  pemiliknya.”“Apakah kebun epal itu juga milik  tuan?”“Iya, kebun itu  milik saya, sekarang sedang  berbuah.“hmm, silakan masuk dan duduk  dulu.”
“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang   dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Di situ kemudian saya  temukan  beberapa buah epal yang terapung. Kerana lapar yang telah  begitu mendera , saya  ambil dan saya makan. Saya baru sedar bahawa buah  ini pasti ada yang punya  sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti  sungai tadi dan menemukan kebun dan  rumah Tuan” jelasnya sambil  memperlihatkan buah epal yang tinggal  separuh.
“Hmm….”, lelaki  pemilik rumah itu bergumam  pendek.                                  “Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati  untuk mengikhlaskan  buah epal ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah  epal ini  akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya   seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir  darah yang  yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban  saya terhadap  keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini  kembali menyapu air  mata yang menggenang..
Pemilik kebun itu  adalah seorang yang alim dan soleh. Ia tahu, dalam  pandangan agama  tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan epal  yang  ditemukan di pinggir sungai.
Ia merenung, “Saya ingin mengetahui,  apakah anak muda ini benar-benar seorang  yang ‘alim, yang takut pada  Allah kerana telah melakukan sesuatu yang ia tidak  yakin apakah itu  benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua,  yang hanya  ingin menarik perhatian?” Untuk tujuan menjawab pertanyaan itu,   akhirnya pemilik kebun epal memutuskan untuk menguji anak muda tersebut.
Setelah  beberapa saat pemilik kebun epal berkata dengan riak muka yang masam.  “Anak muda, saya tidak boleh begitu mudah memaafkan kamu, saya  punya  persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat idea untuk menguji anak  muda  ini.
“Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk epal  yang telah engkau  makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di  kebunku selama 3 tahun tanpa  bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat  makanan dan minuman  sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk  itu, engkau boleh menduduki  gudang di sebelah itu sebagai tempat  bernaungmu.”
Awalnya pemuda Tsabit  bercadang untuk membayar epal  itu, tetapi pemilik  kebun epal tidak mengizinkannya. Tercegat pemuda  itu mendengar ucapan si orang  tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut,  menimbang-nimbang. Akhirnya,  setelah menghela nafas sambil beristighfar  berkali-kali, ia mengangguk.  Tidak ada pilihan lain. Ia harus  memperbaiki kesalahannya,  agar dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi  segera ia menyetujui persyaratan  yang sulit itu. Selama tiga tahun ia  bekerja untuk pemilik kebun epal  itu.
“Tuan, mungkin sudah  ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi  suratan nasib saya. Kiranya  Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi  halalnya makanan yang  masuk ke dalam tubuh saya ini.”
Akhirnya bekerjalah sang anak muda  itu di kebun dan ladang  lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di  ladang dan kebun tersebut. Seraya  selalu memohon keberkahan dalam  amalan hidup yang dijalaninya.
Setelah 3 tahun berlalu, anak muda  itu kemudian menemui pemilik  kebun.“Tuan, hari ini hari terakhir saya  bekerja disini. Saya telah  menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan  Tuan.”
Pemilik kebun epal sedar, bahawa anak muda ini, yang  sedang  berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak  muda  ini telah memikat hatinya dan kerananya ia tidak akan membiarkan anak  muda  ini pergi begitu saja.
Pemilik kebun epal sejenak kemudian  menjawab, “Tunggu dulu anak muda, masa 3  tahun sudah engkau jalani,  namun saya belum dapat memaafkan. Persayaratan  terakhir adalah engkau  harus menikahi putri kesayanganku. Yang perlu engkau  ketahui bahawa ia  tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak mampu berjalan,  tidak boleh  mendengar dan tidak boleh melihat. Seandainya engkau menerimanya   sebagai isteri, maka kuikhlaskan buah epal dari kebunku yang engkau  makan waktu  itu.”
Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat,  adalah perkara yang sukar. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit.  Tapi hidup dengan mengabaikan  suara hati nurani dan ketika kelak  meninggal dan akan bertemu dengan Allah,  tentunya lebih berat lagi.  Tsabit merenung, begitu aneh peranannya dalam  kehidupan yang telah  terjadi, hanya kerana menemukan epal yang sedang menerapung  di tepi  sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah   dengan wajah pucat lesi Tsabit berkata :
“Duhai, ujian apa lagi  ini ya Allah, setiap lelaki tentu  mengharapkan isteri yang sempurna,  secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan  mahkota permaisuri di  kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu  doanya dalam  hati.
Namun dia tidak ada pilihan kecuali, “Ya, saya menyetujui   persyaratan Tuan, dengan begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya  lelaki  yang teguh memegang janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap  ujian, ada hikmah  yang semoga dapat meningkatkan ketakwaannya.
Beberapa  hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si  pemilik kebun  epal secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju  kamar  pengantin, di mana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat   seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya.  Tsabit  merasa takjub dan terpinga-pinga;
“Ya Allah, saya telah  salah masuk kamar.” Tsabit bergegas  meninggalkan kamar dan sebentar  kemudian ayah wanita itu datang  menghampirinya.
“Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencuba  menjelaskan dengan wajah tersipu malu.
“Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.”  jawab si pemilik kebun epal yang sekarang telah menjadi mertuanya.
“Saya  sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti  yang Tuan  ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan   katakan.”
Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak  perempuan  saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki  tempat hiburan  manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah  memandang laki-laki yang  tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama  ini tak pernah mendengar fitnah  dan hanya mematuhi Al Qur’an dan  kata-kata Rasululllah Salallaahu Alaihi wa  Sallam.”
Subhanallah  sungguh kesolehan seorang muslimah sejati.  Hal Ini juga sudah  jarang ditemui. Dewasa ini kita begitu sukar  menemukan seorang muslimah yang  “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari  hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin  ada, tetapi begitu sukar  menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang  menginginkan  muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang  dimiliki  oleh Tsabit.
Kerana alasan itulah sang pemilik kebun  mempertimbangkan secara  mendalam dan akhirnya mengambil keputusan  menyerahkan anak perempuannya kepada  Tsabit, kerana dia telah yakin  bahawa Tsabit cocok  mendampinginya. Kerana takut  pada sari epal yang  telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3  tahun  hanya agar kesalahannya dimaafkan.
“Alhamdulillah, selama hidup  saya tidak pernah makan sesuatu  atau memberikan sesuatu yang dilarang  Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak  perempuan saya baik dalam  segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga  Allah Subhanahu  wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang  soleh.  Saya memberikan kebun epal ini sebagai hadiah pernikahan kalian.   Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Setelah mendengar kata-kata  itu, Tsabit segera melupakan semua  kegundahan di hatinya selama ini dan  pergilah ia menemui pasangan hidupnya yang  berharga dan sangat  dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu  Hanifah, yang  mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.
Tsabit telah memakan  setengah buah epal, terus mencari  pemiliknya meskipun harus menempuh  perjalanan sehari semalam. Kemudian dia  sanggup untuk menikahi anak  pemilik kebun meskipun dikatakan bahawa puterinya  tersebut buta, tuli,  bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi  kehalalan  sebuah epal. Namun kerana ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari   Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab  Allah  dan mendirikan solat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang  Kami anugerahkan  kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,  mereka itu mengharapkan  perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Al  Fathir:29)
......................Subhaanallah...Ta'ajjub :)..............................